1. Jogya vs Solo
Wong Jogya begitu antusias untuk mbeling, mbading-mbadingkan luwihe, kelebihanya dari kota saingannya, Solo. Apa saja dibikin bahan bandingan. dan tentu Jogya selalu lebih baik, itu katanya wong Yogjo.
2. Kesukaan wong Jogjo membandingkan dirinya dengan wong Solo sebenarnya merupakan warisan jaman feodal, maksudnya sejak berdirinya kerajaan Jogya. Jogja minta jatah tahta, Pangeran Mangkubumi terus bikin gara-gara mengacau Negara. Akhirnya PB II memberikan separuh kerajaan kepada pamannya itu di Jogja. Perseteruan dua raja ini menurun pada rakyatnya. Dua kerajaan terus saling bersaing menjadi yang terbaik. Solo dan Jogya saling berbenah diri. Kadang salah satu menang, kadang yang lain kalah. Tetapi sejak kemerdekaan, Jogya menjadi ibukota Propinsi, Solo hanya menjadi bagian Jawa Tengah.
3. Karena menjadi kota propinsi, dananya pasti lebih besar, maka kemajuan Jogja lebih cepat dibandingkan Solo. Dulu sebenarna Universitas GajahMada didirikan di Soplo, tetapi bisa direbut Jogya hingga menjadi kota pelajar.
4. Jogya meningkat pesat dalam kesenian kontenporer. WS Rendra itu orang Solo, tetapi sejak pindah ke Solo mendirikan Bengkel Teater dan ngetop se Indonesia, Jogya kian maju. Para senimannya seperti Emha Ainun Najib atau penulis novel ‘Cintaku di Kamps Biru’ dan cs-nya, adalah salah seorang yang paling getol ‘ngenyek’ wong Solo dan mengunggulkan wong Jogya.
5. Tetapi di bidang politik, Jogya hanya menang di HB IX jadi wakil presiden. Masyarakatnya tetap paling lihai berpolitik. Maka kota Solo disebut barometer politik. Misalnya hilangnya Propinsi Surakarta karena Solo punya rakyat bernama Tan Malaka yang paling getol mengganyang system feodal. Juga banyak tokoh PKI dan umat Islm garis keras. Namun yang paling hebat adalah tokoh Jogya yang tunduk manthuk-manthuk pada wanita Solo. Soeharto yang kelahiran Jogya, besar di Wonogiri, bisa jadi presiden karena pulung ratu sebenarnya berada di tangan isterinya- Ibu Tien yang orang Mangknegfaran. Pak Harto selalu tunduk pada perintah Ibu Tien dalam segla kehidupan, termasuk pemerintahan, pengangkatan menteri hingga pembangunan negara. Setelah Bu Tien meninggal, pak Harto pun dilengserkan rakyat.
6. Pribadi orang Jogya akhirnya suka glembuk. Glembuk itu negosiasi, pendekatan dengan cara bermain manis di lidah, suka memuji-muji di depan, di belakang mengmpat. Pujian ini ditujukan kepada targetman agar mendapat perhatian, agar diberi sesuai dengan kemauan yang ngglembuk.
7. Pribadi orng Solo suka umuk. Umuk itu pamer yang tersembunyi, nmun jangan sampai pamernya membuat orang cenderung minta. Umuk hanya sekedar wah saja. Sikap dan bicara orang Solo suka pamer diri sendiri. Yang dipamerkan adalah kekayaan, keberhasilan atau apa saja yang merupakan suatu prestasi. Misalnya, dalam aarisan, ibu-ibu bilang, “wah anakku, meski tidak jadi PNS, tetapi kerja di perusahaan asing. Dulu tugas ke China. Yang ngantar-ngantar di Cina pangkatnya Gubernur”. Atau cerita umuk seperti ini: “Ini durian enak, hasil panen sendiri. Masih ada 10 ha yang belum dipanen. Masih belum matang.”
8. Cara memanggil nama orang, wong Jogya menyebut nama Kartini itu Karti, kalau orang Solo manggil Tini. Nama Supartono dipanggil Supar oleh orang Jogya. Orang Solo memanggil Tono.
9. Tentang Umuk Solo. Saya dengar bisik-bisik, Wong Solo itu sombong, angkuh, gengsi tinggi dan tentu saja kayak orang Jawa lainnya, pasti munafik.
- Buat aku, artikan engak negative. Sifat munafik dilakukan sebab ada semboyan ‘ojo dumeh peh’. Artinya kalau bertindak selalu lihat kiri kanan jangan sampe bikin tersinggung tetangga disitu.
- Umuk Solo yang sombong dan angkuh itu hanya gambaran nglampiasi kebahagiaan. Contohe, di arisan tante-tante, mereka saling berlomba nyritain anak-anak mereka yang cakep diburu-buru para kumbang, pinter punya gelar, karirnya maju jadi manajer atau yang ngetop jadi artis, sering keluar negeri, temennya para cukong dan pejabat, mobilnya baru dsb. Nah apa crita begitu salah? Nggak dong, boleh aja, pamer kan gak bayar. Biar yang denger jadi keri dan jijik jengkel… Ada yang bilang umuknya wong Solo itu masalah kejiwaan biar harga dirinya berimbang karena seringnya dilecehin orang Jogya atau orang Surabaya/Jawa Timur.
- Apa pendapat orang Jatim tentang wong Solo? Gini lho…wong Solo, kalau pamit bisa diucapin seribu kali. Dari kursi tamu sudah “pareng…(pamit bs Jw)”, ntar di pintu bilang “pareng” lagi, omong-omong lagi di regol, pamit lagi “pareng”. Sampai di regol omong-omong lagi, masuk becak ngucap “pareng” lagi. Sudah naik becak masih omong-omong lagi dengan tuan rumah, becak jalan masih ‘pareng”.
Nah siapa yang mau nambahi glembuk Jogya dan Umuk Solo ini?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Wong Solo Tepo Seliro
BalasHapusAku orang Solo, rumahku di tengah-tengah antara keraton Kasunanan dan Mangkunegaran. Aku denger, orang Solo punya ciri suka sombong yang tersembunyi. Istilahnya Umuk Solo. Menurut penilinku, wong Solo itu ‘tepa selira’, bukan munafik
Apa tepo seliro itu? Tepo seliro adalah sikap diri pribadi yang sangat menghormati orang lain dengan cara tenggang rasa untuk menciptakan keserasian hubungan antar sesama, sehingga hubungan familier dan menghargai ini tidak membawa dampak sakit hati atau tersinggung.
Orang Solo bisa dibilang ahli tepo seliro. Perasaannya peka untuk diri sendiri dalam hubungan dengan orang lain karena menjadi tiang penyangga perasaan. Tepo seliro ini merupakan gabungan dari ‘rara-raras-laras, yang berarti serasi.
Dalam hubungan sosial, wong Solo terkenal sebagai orang yang punya sikap ramah, sumanak familier suka damai, mudah tanggap ata gupuh, suka tenggang rasa tepo selira itu tadi, sabar atau sareh dan pengalah suka mengalah demi kebaikan. Sikap-sikap yang cukup oke ini bisa membawa hubungan antar sesama menjadi serasi.
Dengan tepo siliro atau tenggang rasa itu akan membuat:
1. Seseorang dapat mengargai peasaan satu sama lain
2. Dapat merasaan perasaan orang lain dalam dirinya
3. Tepa selira dapat mengukur dan menempatkan perasaannya
4. Dengan tepa selira, orang dapat memaknai adany ‘daya rasa’, menjadi penghalus hubungan antar sesame
5. Ahli tepa selira akan membawa suasana tidak ada gangguan perasaan, tidak ada yang tertekan, tersinggung, melukai dan membebani perasaan orang lain.
Mengapa wong Solo hamper semuanya menjadi ahli tepo siiro? Sebab wong Solo terdidik ata terbawa dalam suasana hidup orang kota yang kejiwaannya dipengaruhi kesatuan daya yang terdiri dari cipta, rasa dan karsa. Daya-daya ini tidak berdiri sendiri, tetapi bergerak seiring dalam menjalankan fungsi bermasyarakat.
Pada gerak cipta, adalah suatu daya motivasi melahirkan dan menggerakkan dn menentukan sebuah perbuatan pada sasaran yang tepat. Rasa adalah sebuah tehnik penghalus suatu hasil perbuatan sehingga menjadi serasi. Sedangkan karsa adalah pendorong, penggerak adanya perbuatan.
Jadi wong Solo dalam bermasyarakat selalu bertenggang rasa dari dasar hidup pada olah cipta, rasa dan karsa.
Panji Dalliyo
galih33@plasa.com