Cari Blog Ini

Kamis, 05 Februari 2009

Awas, Tahun 2009 Ini Ada 2 x Bulan Suro

Jagad dan alam semesta ini ada, sudah berapa tahun usianya, yo embuh. Milyaran atau tak terbatas. Yang kita ngerti, ada banyak planet. Setiap planet muter-muter, muterin planet lainnya. Misalnya Planet Bulan muterin Bumi dan Matahari. Juga berbagai planet lain saling mutar memutari.

Apakah saling putar antar planet itu juga saling berpengaruh or mempengaruhi? Itu tentu gitulah. Kayak kita orang, tiap orang saling berhubungan, saling pengaruh mempengaruhi. Kagak ada orang yang bisa hidup sendiri. Jadi logikanya, tiap planet ini juga saling mempengaruhi.

Jadi bumi dan alam semesta ini selalu muter. Satu rotasi putaran bumi berdasarkan putaran matahari dan bulan itu butuh waktu sekitar 24 jam atau 1440 menit atau 86400 detik.

Karena bumi tidak pernah berhenti muter, maka tiap detik posisinya pasti berubah. Karena gerak planet berputar pada kisaran yang sama, maka pada waktu tertentu, planet itu akan berada pada satu putaran yang sama. Maka berdasarkan ‘ilmu titen’, terhitunglah bumi bisa mengitari matahari dan kembali pada posisi yang sama dalam waktu tahun atau 365 hari.

Jadi secara umum, ilmu titen menjadi satu wadah yang bernama siklus. Ilmu Titen ini maksudnya ilmu hasil dari mengenali yang terdahulu dan terus berlangsung turun-temurun sejak lahirnya semesta raya ini. Hingga watak alam, watak siklus waktu, bahkan watak seseorang pun secara garis besar dapat dikenali melalui hari keberadaannya.

Siklus waktu yang 365 hari itu lalu dibagi-bagi lagi menjadi 12 bulan (Januari sampai Desember dan 52 minggu. Kalau di Jawa ada siklus pasaran sebanyak 5 hari, Pon, Wage, Kliwon, Legi, Pahing.

Sekarang kita mikir. Tiap detik, ada bayi yang lahir. Karena tiap planet dihuni oleh makhluknya, maka tiap makhluk juga dipengaruhi oleh planetnya dan planet lain di semesta raya ini. Artinya, kelahiran manusia di alam semesta ini dengan sendirinya akan menempati salah satu siklus diantara siklus-siklus yang ada.

Misalnya, orang lahir pada hari Sabtu Pahing tanggal 23 Maret 1996, akan dipengaruhi oleh siklus Sabtu Pahing yang telah dihuni oleh banyak orang sebelumnya yang lahir pada hari pasaran yang sama. Artinya tiap orang yang punya hari lahir Sabtu Pahing, mempunyai sikap, pribadi, watak, nasib dan peruntungan yang bisa ditebak berdasarkan ilmu titen tadi.

Sama halnya, tiap siklus putaran waktu yang sama, bisa pula ditebak berdasarkan ilmu titen.

Nah, kini kita punya kerjaan untuk dipikirkan yakni siklus planet bumi tahun 2009. Ini siklus kalender Jawa yang mengenal windu. Setiap windu ada 8 tahun. Yang dimasalahkan adalah siklus 8 windu atau 64 tahun.


Pada tanggal 29 Desember 2008 sampai 27 Januari 2009 yang lalu, siklus penanggalan Jawa saat itu masuk pada bulan Sura. Tetapi nanti pada Sabtu, 19 Desember 2009 – 17 Januari 2010, bulan itu juga suduh masuk bulan Sura lagi. Jadi ada tanggal 1 – 27 Januari dan 19 – 31 Desember 2009 yang ikut bulan Sura, meski Sura bulan Januari 2009 masuk tahun Jawa 1942 dan Sura bulan Desember 2009 yang masuk tahun Jawa 1943.

Jadi ada 2 kali bulan Sura pada tahun 2009. Kejadian dalam setahun ada dua (2) kali bulan Sura ini hanya berlangsung selama 64 tahun sekali atau 8 windu sekali. Jadi akan ada 2 kali bulan Sura lagi pada tahun 2073 besok (kita sudah mati kali).

Apakah ada pengaruhnya bagi nasib bumi dan manusia Jawa? Mengingat adanya siklus antar planet dan ilmu titen dari embah-embah kita, tahun 2009 ini perlu diingatkan dengan 3 kli kata seru!!! ‘Awas, Suro…Suro…Suro 2009, ada 2 kali.’

Mengapa? Nah inilah yang terlewatkan oleh Nostradamus, Ranggawarsito, Mama Laurent, Ki Joko Bodo, Ki Kusumo atau si Embah tentang kejadian ganjil di tahun yang ada 2 kali bulan Sura-nya. (Mungkin Moyang Sultan Agung sudah mencatat, hanya kadang segelintir aja yang inget).

Sebelum mencari makna 8 windon dengan 2 Suran dalam sata tahun Masehi, mari kita balik ke kalender Jawa dan makna bulan Sura.

Kalender Jawa

Kalender Jawa dibuat oleh Sultan Agung Mataram abad 17 dulu. Kalender ini bisa memadukan budaya Islam, Hindu-Buddha, Jawa dan budaya Barat. (Hebat tho simbah Sultan Agung kita ini).

mBah Sultan Jorgi e Sltan Agung mengubah sistem penanggalan dilakukan hari Jumat Legi, tahun Saka 1555. Saat itu tepat pada tahun baru Hijriah tanggal 1 Muharam 1043 H, sedang tahun Masehi-nya adalah 8 Juli 1633 M.

mBah Sultan mengganti membuat kalender ini tidak dimulai dari Hari Kamis tanggal 1 bulan Sura tahun 1. Tetapi meneruskn tanggalan Jawa waktu itu yang bernama tahun Saka. Waktu itu orang Jawa sudah punya kalender berdasarkan putaran matahari
sistem tanggalan ini tanpa mengganti hitungan tahun Saka 1555 yang sedang berjalan, melainkan meneruskannya. Hitungan tahun tersebut berlangsung hingga sekarang.
Sistem kalender Jawa memakai 2 siklus hari, yakni siklus mingguan seperti Senin Selasa Rabu dsb, dan siklus pekan pancawara 5 hari pasaran seperti Legi, Pahing, Pon, Wage dan Kliwon.
Kalender Hijriah dan kalender Jawa memakai dasar penampakan bulan, kalender Masehi memakai dasar matahari. Pada kalender Jawa ada system yang tidak dipunyai kalender Hijriah maupun kalender Masehi, yakni :
Siklus Pawukon (berasal dari kata Wuku). Ada 30 Wuku, tiap 1 wuku terdiri 7 hari dimulai hari Minggu hingga Sabtu, sehingga putaran harinya sebanyak 7 x 30 = 210 hari.
Konsep hari pasaran terdiri lima hari (Kliwon, Legi, Pahing, Pon, Wage)
Siklus delapan tahunan yang disebut Windu. Nama tahun dalam penanggalan Jawa mengikuti siklus Windu, terdiri dari Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir.
Nama bulan dalam kalender Jawa adalah sbb:
1. Sura (30 hari)
2. Sapar 29 hari (kecuali tahun Dal 30 hari)
3. Mulud (30 hari)
4. Bakdamulud (29 hari)
5. Jumadilawal (30 hari (kecuali tahun Dal 29 hari)
6. Jumadilakir (29 hari)
7. Rejeb (30 hari)
8. Ruwah (29 hari)
9. Pasa (30 hari)
10. Sawal (29 hari
11. Dulkaidah (30 hari)
12. Besar (29 hari) kecuali kabisat 30 hari. Tahun kabisat dalam
perhitungan Jawa adalah tahun Ehe, Je, dan Jimakir.

Penanggalan Jawa merupakan salah satu produk budaya asli bangsa Indonesia. Sistem penanggalan Jawa punya tradisi Suran yang melekat dalam masyarakat Jawa dan diperingati secara rutin oleh Keraton Yogyakarta dan Surakarta dengan seluruh rakyatnya.

Tradisi Suran

Suran berasal dari kata Sura. Sura adalah bulan pertama kalender Jawa. Berbeda dengan 1 Januari yang dirayakan dengan pesta kembang api atau Imlek dengan makan-makan bagi-bagi angpho, menyambut 1 Sura justru jauh dari hingar bingar pesta.

Satu Sura disambut dengan kegiatan adat yang cenderung pada keprihatinan, mawas diri, bertapa, hening, pengendalian diri, instropeksi diri, doa dan penyucian kegiatan yang bersifat sakral.

Acara ini diciptakan oleh Sultan Agung Mataram pada sabdanya untuk:
- menggalang persatuan orang Mataram untuk mengganyang orang asing (Belanda)
- Menetapkan kalender Jawa 1 Sura 1555 Jawa sebagai kalender resmi yng sat itu sama dengan tanggal 8 Juli 1633 M atau 1 Muharam 1043 .
- Membangun sikap SURAN, yakni BERANI melawan penjajah Belanda
- Berani mewujudkan Mataram raya yang bebas dari angkara murka

Adapun acara Suran ini ditetapkan sebagai :
- Awal tahun baru kalender Jawa
- 1 Sura dianggap sebagai tahun keramat karena menjadi tanggal keputusan raja.

Ada apa pada makna 8 Windon?

Apabila dihitung mundur, kejadian 2 kali bulan Sura dalam satu tahun Masehi, pernah terjadi pada tahun-tahun :
- 1945
- 1881
- 1817
- 1753
- 1689
- 1625 tahun ini kalender Jawa belum berlaku.

Tinggal dilihat, apa yang terjadi pada tahan 1945? Saat itu, Indonesi merdeka!! Namun meski merdeka, masih buanyak sekali kesialan yang lain. Misalnya, gerakan politik yang mulai menggeliat menyebabkan negara sulit stabil.

Itu adalah contoh peristiwa. Jika ditarik untuk tahun 2009, mungkin pada pemilu nanti akan ada presiden terpilih, tetapi ia membawa kesialan tertentu. (Moga enggak lah). Dan ditarik bagi diri sendiri, aku barusan dikasih tahu sama Si Embah. Begini ceritnya…

Kata Embah, 8 windon dengan 2 bulan Sura di satu tahun Masehi seperti di tahun 2009 ini, akan membawa dampak positif dan negative. Positivenya, ada cita-cita yang tercapai. Tetapi tahun ini adalah tahun sial. Kesialan berpangkal dari pengaruh alam, siklus pawukon dan pengaruh sabda raja (Sultan Agung Mataram). Sabda raja untuk anti penjajah membuat begitu banyak orang yang mati akibat berperang melawan Belanda. Di jaman itu, pasukan raja berperang ke Batavia lebih dari 3 kali. Tak ada yang berhasil, semuanya gagal. Negara menjadi miskin, perpecahanan antar keluarga bangsawan dan para pejabat yang menurun pada rakyatnya, juga tersebarnya penyakit. Beras mahal sandang sulit dicari.

Effek negatif dari dua bulan Sura di setahun yang sama menurut Embah adalah:
- Banyak terjadi bencana alam
- Banyak terjadi kematian yang melebihi tahun-tahun sebelumnya
- Sandang dan pangan mahal dan sulit didapat
- Akan ada kekacauan dan kebrutalan walau hanya perkara sepele.


Bagi perseorangan, pengaruh orang per orang tentang ketidak-konsentrasian diri dan kurangnya amal ibadah akibat memburu kebutuhan hidup. Maka agar terhindar dari kesialan, bagi orang Jawa, perlu melakukan beberapa upacara; yakni:

Bersujud kepada Allah atas segala karunia Nya.
Memohon ampun atas segala dosa-dosa
Lakukan terus menerus sujud, doa, sembayang, ritual-ritual untuk mendekatkan diri kepada Allah. Yang sholat jangan sampai bolong. Lakukan Tahajud.
Banyak beramal dan berbuat baik untuk lingkungan sosial
Peliharalah lingkungan hidup termasuk lingkungan alam jangan sampai alam ngamuk membuat bencana seperti gempa, longsor, banjir dsb
Kurangi makan nasi dan daging. Daging dimaksud adalah semua daging yang berasal dari hewan hidup seperti daging sapi, ayam, udang, kakap, sampai kripik laron juga puasa dulu, berturut-turut selama seminggu (dalam tahun ini, syukur-syukur setiap bulan usahakan seminggunya gak makan daging. Jadi vegetarian, sebab daging punya pengaruh buruk bagi kepribadian orang - kalau kebanyakan).
Kalau bisa lakukan ruwatan lengkap
Nanyalah pada orang tua-tua, pasti punya pendapat kayak aku ini.

Semoga tahun ini membawa dampak bagus, bukan kesialan melulu. Makanya, jalankan nasehatku yang 8 tadi. Selamat bervegetarian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar