Cari Blog Ini

Rabu, 29 April 2009

Rawa-rawa Solo, Ajang Demo Rakyat Tertua

Di subuh buta, kapal-kapal pelabuhan Beton Kampung Sewu telah menumpahkan barang-barang kebutuhan paduka Sinuwun Paku Buwana dari kerajaan Kartasura. Ki Bau Soroh, abdi dalem keraton yang ditugaskan khusus untuk mengurusinya, membawanya ke istana tanpa kekurangan apapun. Betapa senang Paduka raja oleh pengabdian Bau Soroh, hingga akhirnya jabatannya dinaikkan sebagai kepala pelabuhan sekaligus lurah desa. Wilayah desanya meliputi pinggir sungai Bengawan Solo. Saat itu daerahnya masih berupa rawa-rawa.

Namun Ki Soroh tak putus asa. Rakyatnya digerakkan untuk membangun desa dengan pelabuhan Beton di pinggir sungai Bengawan Solo sebagai titik pusat pasar transit berbagai barang. Maka kapal-kapal dari Jawa Timur, Madura, Kalimantan, China, Belanda dsb, selalu hilir mudik di pelabuhan Beton. Tidaklah heran jika dengan cepat desa rawa-rawa ini dipenuhi membaurnya beberapa ras manusia yang ber¬beda. Logat bicaranya juga beraneka. Banyak juga pendatang yang sulit mengucap huruf R.

Padahal mereka sering berhubungan dengan Ki Bau Soroh. Namun lidah mereka aelalu kelu untuk bicara huruf R dan akhiran H, maka nama Ki Soroh hanya bisa diucapkan dengan nama Ki Sala (diucapkan Saulau, a nya seperti ucapan au dalam kata beliau). Akibat Bahasa Melayu tak kenal huruf au, maka agar tidak salah ucap menjadi Sala (huruf a seperti kala), maka huruf a diganti huruf o menjadi Solo.

Nama Ki Soroh pun akhirnya berganti dengan sendirinya menjadi Ki Solo. Pak Lurah Solo ini adalah pribadi yang sangat sakti mandraguna, maka namanya menjadi Kyai Gede Solo. Desanya juga dinamai desa Solo. Kian ramainya pelabuhan Beton membuat desa Solo kian makmur.

Sampai suatu saat, Ki Solo menerima tamu penting utusan Paduka Sinuwun dari kerajaan Kartasura. Para utusan itu adalah Panembahan Wijil, Suranata, Khalifah Buyut, Pangulu Fakih Ibrahim dan Pujangga RT. Tirtawiguna. Mereka mengemukakan bahwa atas dasar wisik ketika bertapa, desa Solo ditakdirkan Tuhan untuk menjadi kota pusat kerajaan.

Memang ketika itu Sunan Paku Buwana II (1726 – 1749) telah kembali dari pelarian di Ponorogo (1742). Ia sangat sedih melihat kehancuran bangunan istananya di Kartasura. Istana ditinggal dan Sinuhun mengungsi karena adanya pemberontakan Mas Garendi (Sunan Kuning) yang dibantu RM Said atau Pangeran Sambernyawa. Mas Garendi dapat menguasai Keraton Kartosura pada 30 Juni 1742. Alasan penguasaan adalah karena Sinuhun bersedia bekerjasama dengan Belanda. Di saat yang sama, pemberontakan China di Batavia melawan kompeni Belanda meluas hingga ke keraton Kartasura.

Hancurlah bangunan istana Kartasura dan tidak layak lagi sebagai istana pusat kerajaan. Pada akhirnya Sinuwun dapat kembali ke Istana setelah para pemberontak ditaklukkan kompeni Belanda. Melihat istananya rusak, Sinuwun bermaksud memindahkan bangunan istananya ke desa Solo.

Mendengar perintah raja bahwa wilayahnya akan dibangun istana, Kyai Gede Solo tentu tidak keberatan. Namun beliau mengingatkan bahwa di desa Solo terdapat sebuah makam bernama Kyai Bathang. Nama Kyai Bathang yang sebenarnya adalah Pangeran Pabelan, putera Tumenggung Mayang. Ia dibunuh di dalam istana, sebab ketahuan bermain asmara dengan puteri Sekar Kedaton di jaman Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir, raja Pajang. Setelah dibunuh, mayat Raden Pabelan dihanyutkan di sungai Lawiyan (sungai Braja), lalu terdampar dan nyangkrah atau menyangkut di pinggir kali Pepe dalam wilayah desa Sala.

Cerita itu tidak menghalangi Sinuwun untuk memindahkan keratonnya dari Kartasura ke desa Sala. Berita di tentang adanys dua makam ayah dan kakek Kyai Solo, tak digubris. Apalagi 3 orang utusan raja yakni Kyai Tohjaya, Kyai Yasadipura I dan RT Padmagara, menemukan sumber Tirta Amerta Kamandanu (air kehidupan, sumber mata air) di desa ini. Sinuwun kian bersemangat sehingga memerintahkan pembangunan istana dimulai.

Maka para abdi dalem mulai menimbuni daerah rawa-rawa ini dengan balok-balok kayu. Herannya, sekian ribu m3 balok kayu ditimbun, itupun tidak bisa menyumbat mata air rawa tadi, bahkan airnya semakin deras menyerupai Grojogan Sewu. Ajaibnya, berbagai jenis ikan laut seperti teri pethek dll, bermunculan dari sumber air rawa. Selain itu tumbuhan lumbu dengan cepat tumbuh menghutan di desa Solo. Para punggawa keraton panik tak alang kepalang. Saat itu masuk pada tahun 1743.

Para pujangga akhirnya bertapa 7 hari tanpa makan, minum dan tidur. Di malam Anggara Kasih Selasa Kliwon, Pujangga Kyai Yasadipura mendengar wisik yang berbunyi: kang padha mangun pujabrata, wruhanira, telenging rawa iki ora bisa pampet amarga dadi tembusaning samodra kidul. Ewadene yen sira ngudi pampete, kang dadi saranane, tambaken Gong Kyai Sekar Dlima godhong lumbu, lawan sirah tledhek, cendhol mata uwong, ing kono bisa pampet ponang teleng. Ananging ing tembe kedhung nora mili nora pampet, langgeng toyanya tan kena pinampet ing salawas-lawase.

Terjemahan bebasnya: Wahai pertapa, rawa ini tembusan dari Laut Selatan, tak dapat ditutup kecuali dengan syarat; gunakan Gong Kyai Sekar Delima, daun lumbu (talas), dan kepala tledhek ronggeng cendol mata orang).

Sinuwun mengartikan wisik itu bahwa beliau harus membayar ganti rugi kepada Kyai Gede Solo sebesar sepuluh ribu ringgit dan uang itu akhirnya dibayarkan. Selanjutnya Kyai Gede Solo berbesar hati untuk menerima ganti rugi dan langsung membaginya kepada rakyat desa Solo.

Para punggawa seolah melihat bahwa Kyai Gede Solo bertapa di makam Kyai Bathang. Keluar dari bertapa, Kyai Gede Solo membawa “Sekar Delima Seta” dan daun lumbu (sejenis talas). Dengan sedikit upacara ritual, kedua barang tersebut kemudian dimasukkan ke dalam sumber mata air Tirta Amerta Kamandanu. Herannya, sumber airpun bisa disumbat dan berhenti mengalir. Tentu bisa dimaklumi karena Kyai Gede Solo adalah orang yang mempunyai ilmu bathin yang tinggi.

Padahal pada kenyataannya, kesulitan menutup rawa-rawa itu sebenarnya adalah akibat semacam sabotase rakyat desa Solo, rakyatnya Pak Kyai. Mereka merasa terusir, namun Sinuwun hanya memberi ganti rugi berupa gelondongan kayu untuk membangun rumah di lahan pengganti. Lalu dari mana mendapat uang untuk membeli paku, pasir dan genting?

Maka ramai-ramai rakyat desa Solo berdemo. Demo pada tahun 1743 itu mungkin demo pertama di tanah Jawa. Cara demonya dilampiaskan dengan membuka sumber-sumber air dan melemparkan ikan laut yang masih hidup di rawa itu. Adapun makam Pangeran Pabelan dan ayahanda Kyai Solo jangan diusik, tetapi harus dirawat dan dilestarikan. Kyai Gede Solo akhirnya menang dalam pertikaian melawan Sinuwun. Namun meski kalah, Sinuwun bisa membangun keratonnya di desa Solo.

Rakyat kerajaan dikerahkan membangun istana. Permulaan pembangunan ditandai dengan sengkalan “Jalma Sapta Amayang Buwana “ tahun 1744. Rawanya diurug balok kayu dan tanahnya yang wangi diambil dari daerah Talangwangi, Kadipala dan Sanasewu. Bagaimana kelanjutannya? Tunggu di terbitan mendatang. (noni/bersambung)



Sejarah kota Solo (2)
Sinuwun Meresmikan Kerajaan Surakarta

Gelapnya malam di istana Kartasura kian membuat hati Sinuwun Paku Buwana II sangat gundah. Perselisihan dengan para kerabat tak pernah berhenti, harta benda terus berkurang, keratonnya pun rusak parah dihancurkan musuh. Dalam keheningan, Sinuwun berharap Tuhan segera memberikan karunia agar keraton baru yang sedang dibangun di desa Solo segera rampung.
Doa Sinuhun dikabulkan. Dengan tergopoh-gopoh, abdi dalem RT Tirtawiguna telah mendapatkan berbagai persyaratan untuk perpindahan istana baru, istilahnya slup-slupan. Perintah mengadakan upacara secara besar-besaran dikelola dengan teliti.
Para pendeta dan ustad-ustad mengadakan sesajian dan pengajian selama beberapa malam sebelum hari H. Bunga-bunga harum dipetik dari pelosok wilayah. Juru masak membuat sesaji dan seribu tumpeng lengkap dengan daging hewan berkaki empat. Ikan air tawar, ikan laut dan berbagai jenis unggas tak ketinggalan, termasuk palawija, buah-buahan dan jajanan pasar.
Setelah semua persiapan dilengkapi, Sinuhun dengan segala harta benda dan para abdi dalemnya, pindah dari Kartasura ke desa Sala. Para tamu berdatangan menyambut perpindahan itu, termasuk tuan Belanda penguasa tanah Jawa, Mayor Djohan Andrijas Baron Van Hogendorf. beserta 5 kompi pasukannya. Perpindahan itu dilakukan pada hari Rabu Pahing, 17 Februari 1745.
Iring-iringan barisan kerajaan yang berangkat dari Alun-alun Kartasura, disambut rakyat di sepnajang jalan yang dilalui. Kereta kencana Sinuhun digerakkan 8 ekor kuda, diiringi permaisuri dan garwa padmi, lalu putera mahkota, patih dan para punggawa lainnya sebanyak 50 ribu orang. Barisan berjalan sangat lambat karena harus memutar melewati Alun-alun kerajaan Pajang di kota Gede. Barang-barang yang dibawa juga sangat banyak, sedangkan para serdadu harus membuka jalan dengan menebasi hutan dan semak belukar.
Di sore hari ketika mentari sudah berada di ujung barat, iring-iringan barisan Sinuhun baru sampai di desa Solo. Sinuhun disambut serentak oleh tembakan meriam, bunyi gamelan dan tiupan terompet. Di dampar kencana, Sri Sunan Paku Buwana bersabda kepada segenap hadirin: Wahai hambaku, dengarkan sabdaku. Sejak hari ini, desa Solo aku ambil namanya, aku tetapkan menjadi negaraku, aku namai negara Surakarta Hadiningrat. Siarkanlah ke seluruh rakyatku di Tanah Jawa.
Kepindahan ini diikuti kerabat dan pembesar negara yang segera membangun kediaman yang baru. Di luar tembok istana seperti di Hadiwijayan dan Suryaha¬mi¬jayan dibangun untuk kerabat raja. Begitupun para prajurit diberi lahan-lahan dan dibangunkan sesuai dengan jabatan mereka. Nama daerahnya juga dinamai sesuai dengan pangkatnya seperti di Saragenen, Mertalulutan, Jayantakan dan Miji Pinilihan. Penempatan per golongan mencip¬takan nama-na¬ma kampung seperti Kampung Kalangan, Jagalan, Gandekan dsb.
Syahdan, para pembesar Belanda pun ikut gusar jika tidak mengawasi kerajaan. Maka dengan serta merta penguasa Belanda mencari tanah yang dekat dengan bangunan keraton Surakarta. Tanah di Kedunglumbu dipilih para pejabat Pemerintah Hindia Belanda.Orang-orang asing dan para Misionaris, ramai-ramai membangun rumah kediaman di seputar Gladag.
Sayangnya desa Sala saat itu sering banjir. Penduduknya belum banyak, su¬a¬sananya sepi, jika malam se¬nyap ka¬rena gelap, setan-setan pun berkeliaran. Orang sering takut jika keluar malam, apalagi se¬habis hujan, jalanan sangat becek. Rumah penduduk masih bertembok gedhek, berlan¬tai tanah dan beratap ilalng. Rumah priyagung dan ju¬ragan batik sudah berbalok kayu atau tembok tinggi tanpa lepo. Atapnya genting, alasnya mester. Pagar rumah penduduk juga hanya dari bambu.

Kondisi yang sepi di pusat kerajaan ini berarti menyuburkan aroma perang. Memang, meski sudah pindah keraton, Sinuhun Paku Buwana tidak pernah bisa tidur pulas. Geger Pacinan masih berbuntut. Banyak sekali para Pangeran yang merasa kuat dan sangat anti Kompeni Belanda. Mereka dengan bebas telah meninggalkan keraton untuk membuat benteng pertahanan sendiri.

Pangeran Puger membangun pertahanan di daerah Sukowati, Sragen. RM Said membangun pertahanan di Randulawang dan Wonogiri, sedangkan Pangeran Mangkubumi lari ke Semarang menuntut penguasa Belanda agar diangkat sebagai raja.

Sinuhun merasa sangat terpukul. Sikapnya meminta bantuan Belanda harus dibayar mahal. Selain dijauhi para Pangeran, Sinuhun juga harus membayar wilayah pantai utara mulai dari Rembang, Pasuruan, Surabaya dan Madura untuk dikuasai Belanda. Pengangkatan pejabat tinggi Keraton pun harus seizin Belanda. Benarlah apa yang dikatakan para Pangeran bahwa posisi raja tak lebih dari boneka yang meminjam kekuasaan Belanda.

Dalam heningnya malam, Sinuhun Paku Buwana II menyadari kesalahan. Raja tak ingin apabila kerabatnya saling berselisih karena rakyatlah yang akan menjadi korban. Perselisihan antar kerabat kerajaan berarti keuntungan untuk kompeni Belanda. Maka Sinuhun bertekad untuk memberikan kekuasaan kepada Pangeran Mangkubumi. Serta merta Sinuhun meminta agar Pangeran meredakan pemberontakan dengan janji akan diberi kekuasaan. Namun sang Pangeran sama sekali tidak percaya. Bukankah ia telah pernah dikhianati saat tanah lungguhnya dikurangi?

Sinuhun kian sedih. Sudah 4 tahun singgasana kerajaan Surakarta diduduki. Namun rasa bahagia tak pernah menyambangi. Hatinya tak mampu berbohong. Di keremangan malam, wajahnya berlinang air mata, badannya dingin, tubuhnya bergetar. Semangat tandingnya saat berambisi ingin terus berkuasa, telah surut diterjang rasa kecewa yang mendalam.

Alam bawah sadarnya terluka parah. Sinuhun tak mampu berdiri. Tubuhnya lunglai, peluhnya mengalir deras. Malaikat seakan sudah menyediakan jalan untuk dilewati. Saat Patih nDalem menghadap, Sinuhun hanya berkedip ketika Patih menghaturkan sembah atas hadirnya Gubernur Belanda di pembaringan.

Eyang Londo membezok Paduka Raja. Dalam keadaan alam bawah sadar dan tak sadar karena gering, tangan Sinuhun membubuhkan tanda tangan. Adakah Sinuhun mengerti apakah makna kertas bertulis yang disodorkan Tuwan Gubernur?

Siapa yang menulis surat sakti yang berisi Sinuhun Paku Buwana II, oleh perintah Kumpeni yang agung, kerajaan diserahkan kepada Tuwan Gubernur dan penguasa tanah Jawa, Djohan Andrijas Baron Van Hogendorf. Tanda tangannya tertanda: Hamba, Kanjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati Hing Ngalaga Ngabdulrahman Sayidin Pranatagama.…"

Esok harinya langit kota Solo menggelegar. Kilat menyambar, bumi seakan terguncang saat terompet dibunyikan dengan nada demikian mengenaskan. Sang Paduka Raja Paku Buwana II, telah berpulang. Isak tangis pendiri kota Solo terdengar disana sini. Teriakan rakyat terdengar histeris. “Oh Paduka, hanya seumur jagung usimu di Kota Solo. Restuilah agar desa ini menjadi besar…!!!” (noni)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar